Tuanku Imam Bonjol & Pangeran Diponegoro



Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat 1772 dan meninggal di Minahasa, 6 November 1864. Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang ulama dan pemimpin perang melawan Belanda dalam peperangan “Perang Paderi” pada tahun 1821 – 1837
PERANG  PADERI
Perang Paderi adalah perang yang berlangsung di Sumatera Barat. Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya mengakibatkan pertentangan dalam masalah agama. Perang Paderi dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai kaum Padri terhadap kebiasaan kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat/kaum adat. Kebiasaan yang dimaksud seperti penyabungan ayam, perjudian, minum minuman keras. Tidak adanya kesepakatan dari kaum adat yang padahal telah memeluk agama islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dikatakan sebagai Perang Saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Kaum Adat mulai terdesak sehingga meminta bantuan kepada Belanda tahn 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru mempersulit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum adat berbalik melawan Belanda. Walau pada akhirnya peperanganini dimenangkan oleh Belanda.
Kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi menyerah kepada Belanda. Sehingga untuk ketiga kalinya Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang sekitarnya dikelilingi parit-parit. Barulah tanggal 16 Agustus 1837 benteng bonjol dapat dikuasai Belanda.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Pelupuh untuk berunding, tiba ditempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa. Ditempat itu Beliau meninggal pada tanggal 6 November 1864.

Sumber !!
Pangeran Diponegoro


Bandara Raden Mas Antawirya / Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta 11 November 1785 dan meninggal di Makassar 8 Januari 1855. Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin perang Diponegoro/ Perang Jawa (1825-1830) melawan Pemerintah Hindia Belanda.

PERANG  JAWA

            Perang Jawa/Perang Diponegoro adalah perang besar yang berlangsung selama 5 tahun (1825 – 1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa penduduknnya di Nusantara.
            Perang Diponegoro ini berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Sikap Diponegoro yang menantang Belanda secara terbuka mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Akhirnya Diponegoro membuat markas di Goa Selarong. Saat itu Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah “perang sabil” (perlawanan menghadapi kaum kafir). Semangat perang sabil membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
            Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro, bahkan sayembara pun digunakan, hadiah 50.000 gulden diberikan kepada siapa pun saja yang bisa menangkap Diponegoro.
            Dan akhirnya pada tahun 1827  Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahn 1829 Kyai Maja  ditangkap, pada tanggal 28 Maret 1830 Jendral De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di benteng Rotterdam tanggal 8  Januari 1855.


Sumber !!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROFIL Gita Wirjawan

Welcome!